Saya masuk
dari pintu garasi yang terhubung ke rumah. Saya mengambil handuk dan
mengeringkan rambut yang agak basah saat membuka gerbang pagar tadi. Suara
televisi terdengar samar-samar dari ruang tengah. Saya ganti kemeja saya dengan
kaus tidur.
Saya berjalan ke ruang tengah, ingin ngobrol-ngobrol sebentar dengan bapak. Tetapi bapak sudah tertidur di depan televisi. Saya dekati bapak yang tertidur di kasur depan tivi. Saya duduk di sampingnya. Biasanya kalau belum pulas benar, bapak pasti terbangun dan berkata: Udah pulang? Makan gih!, perkataan yang selalu saya dengar sejak kecil.
Sepertinya
bapak sudah pulas. Mulutnya menganga, ada dengkur halus keluar dari mulutnya.
Wajahnya terlihat lelah. Mungkin bapak capek mengurus pohon-pohon kesayangannya
di halaman.
Bapak
mengasihi pohon-pohon di halaman. Pepohonan itu ia sayang dan rawat setiap
hari. Peralatan bertamannya lengkap termasuk obat-obatan dan pupuknya.
Pohon-pohon kesayangannya membalas cinta bapak dengan memberikan bunga-bunga
indah dan buah-buah ranum kepada bapak.
Ibu yang
pertama kali memperkenalkan cara mengasihi tanaman kepada bapak. Tetapi
semenjak ibu tiada, bapak melakukan seorang diri saja. Mungkin bapak tidak
sekedar merawat bunga dan tanaman, tetapi ia sedang merawat cinta dan kenangannya
bersama ibu.
Sempat beberapa bulan tanaman itu tak terawat, di bulan-bulan awal
kami ditinggalkan ibu. Bapak lebih banyak termenung dan menonton televisi.
Tetapi kemudian bapak bangkit dari duka kehilangannya dan mulai meneruskan
dunianya yang sempat berhenti itu.
"Kamu
tahu apa nama latin mawar?" tanya bapak suatu hari, sambil matanya
memandangi keindahan bunga itu.
"Enggak,
Pak... " saya menggeleng.
"Rosa...
sama dengan nama ibumu," kata bapak.
"Oh...
" Segera saja senyum dan tawa ibu terbayang kembali di depan mata.
Sumber :
Facebook