Thursday, November 17, 2005

Pertarungan Budaya Menanam Melawan Budaya Selebritas dan Kriminalitas

Oleh : Bambang Haryanto
Pengelola blog Teh Biru Kembang Telang
Email : indolocavore@gmail.com

Tontonan reality show  akhir-akhir ini menjadi primadona di stasiun-stasiun televisi kita.  Dari pemilihan penyanyi, aktor/aktris, anak band, pelawak bahkan sampai pemilihan pembantu rumah tangga, dijadikan  sebagai acara televisi yang melibatkan penonton untuk menjadi jurinya. Pesertanya pun membeludag.

Demam dan gelora penonton untuk menjadi juri dalam pelbagai kontes tersebut memang sengaja dikilik-kilik oleh stasiun televisi bersangkutan. Karena tontonan ini menghadirkan uang pemasukan yang tidak sedikit, yaitu dari SMS-SMS yang masuk.   Yang pasti, berkaca lanjut dari kehebohan yang selalu  mengiringi kontes-kontes tersebut,  kita dapat menangkap  gelegak nafsu anak-anak muda kita  yang luar biasa dalam upayanya meraih impian sebagai  pesohor, selebritas, melalui jalan pintas !

Asal muasal semua gelora nafsu  itu mudah ditebak. Yaitu akibat masifnya  paparan media massa, terutama televisi, yang setiap hari  membom ruang hidup kita dengan acara-acara infotainment, yang berisi informasi segala tetek-bengek kehidupan selebritas. Kebanyakan kandungan informasinya memang  tidak ada nilainya. Para selebritas yang jadi nara sumber pun banyak yang tidak pintar,  tetapi  bukan itu pesan utama yang penting dari tayangan televisi.   Televisi berbicara dalam bahasa lain.

Ruedi Hofmann dalam bukunya Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi (1999) menjelaskan, berbeda dengan cara berpikir linear yang merupakan kekhasan budaya tulis, di televisi cara berpikirnya dalam bentuk spiral dengan selalu kembali kepada hal yang sama. Atau dalam bentuk mosaik dengan menjejerkan hal-hal yang sebetulnya tidak saling berkait, tetapi dalam kemajemukan dapat menghasilkan suatu kesan menyeluruh. 

Di televisi, berbeda dari media cetak, kata-kata yang diucapkan bukan yang paling penting. Sering kata-kata bahkan  kurang mendapat perhatian dan cepat dilupakan. Akan tetapi, kesan yang diperoleh berasal dari penampilan seorang tokoh, dari latar belakang dan lingkungannya, dari nada musik, dan sebagainya. Semua itu lebih penting dari kata-kata.

Dari  kesan-kesan yang dipancarkan oleh televisi seputar kehidupan glamor para pesohor, itulah yang membuat  anak-anak muda kita terbius untuk melambungkan impiannya, ramai-ramai ingin secara instan menjadi  selebritis seperti idola mereka !  

Kalangan sosiolog berpendapat bahwa di dunia saat ini sedang bertempur antara dua budaya. Yaitu budaya hero, pahlawan, melawan budaya pesohor, selebritas. Budaya hero bercirikan suatu upaya pencapaian prestasi dengan bekerja keras, tekun, sabar, berproses langkah demi langkah, alami dan memakan waktu. 

Hal universal ini, menurut Stephen  R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989),  berlaku untuk semua tahap kehidupan, pada semua bidang perkembangan. Apakah belajar main piano,menanam benih bunga atau berkomunikasi. Juga berlaku untuk setiap individu, dalam perkawinan, keluarga, atau pun organisasi.

Prinsip atau fakta mengenai pentingnya proses ini kita fahami dan kita terima bila berlaku pada bidang yang bersifat fisik. Tetapi untuk memahaminya di bidang emosional, hubungan antar manusia dan bahkan dalam karakter pribadi, ternyata tidak mudah dan lebih sulit. Bahkan ketika pun kita memahaminya, menerimanya dan hidup selaras dengan prinsip tersebut, ternyata merupakan hal yang lebih sulit lagi.

Akibatnya,  kita selalu mudah tergoda untuk mencari terobosan, jalan pintas, mengharap dengan melompati beberapa langkah vital guna menghemat waktu dan usaha, tetapi tetap mampu meraih hasil yang maksimal.

Sikap mental getol  mengambil jalan pintas, itulah perwujudan budaya selebritis, yang cenderung ingin sukses secara instan dengan mengingkari proses alami suatu perkembangan.   Anda ingin kaya raya tanpa dibarengi kerja keras dalam waktu lama ? Maka tak ayal, mewabahlah budaya korupsi. Ingin nampak berpendidikan tinggi, tetapi tak mau bersusah payah berkuliah ? Budaya jual-beli gelar akademi palsu meruyak dimana-mana. Sehingga pantaslah kalau kalangan sosiolog menyimpulkan betapa budaya selebritis itu berimpit ketat dengan budaya kriminalitas. 

Sebagai ilustrasi lagi, beberapa tahun lalu terpapar realitas penerimaan kita terhadap budaya hero vs. budaya selebritis. Itu tergambar saat seorang selebritis, penyanyi perempuan muda, terkenal, yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas karena diduga habis mengkonsumsi narkoba.

Liputan media begitu hebat dan ribuan pelayat berjubelan menghadiri pemakamannya. Sementara pada saat yang hampir bersamaan, wafatnya sosok hero, pekerja keras dan intelektual, pujangga Angkatan 30, Sutan Takdir Alisjahbana, hanya diantar belasan orang ketika menuju peristirahatannya yang terakhir .

Gelegak budaya selebritis itu, kini, suka atau tidak suka telah mengepung hidup kita.  Mungkin kita tidak mampu mengingkarinya. Tetapi seperti halnya isi petuah Ronggowarsito  bagi kita dalam menghadapi jaman edan,  maka wanti-wantinya agar kita selalu eling lan waspadha, tentulah kita harap masih sebagai satu pegangan  hidup yang bermakna. 

Begitukah ? Apa pendapat Anda ?