Pengelola blog Teh Biru Kembang Telang
Email : indolocavore@gmail.com
Tontonan reality show akhir-akhir ini menjadi primadona di stasiun-stasiun televisi kita. Dari pemilihan penyanyi, aktor/aktris, anak band, pelawak bahkan sampai pemilihan pembantu rumah tangga, dijadikan sebagai acara televisi yang melibatkan penonton untuk menjadi jurinya. Pesertanya pun membeludag.
Demam dan
gelora penonton untuk menjadi juri dalam pelbagai kontes tersebut memang
sengaja dikilik-kilik oleh stasiun televisi bersangkutan. Karena tontonan ini
menghadirkan uang pemasukan yang tidak sedikit, yaitu dari SMS-SMS yang
masuk. Yang pasti, berkaca lanjut dari
kehebohan yang selalu mengiringi
kontes-kontes tersebut, kita dapat
menangkap gelegak nafsu anak-anak muda
kita yang luar biasa dalam upayanya
meraih impian sebagai pesohor,
selebritas, melalui jalan pintas !
Asal muasal
semua gelora nafsu itu mudah ditebak.
Yaitu akibat masifnya paparan media
massa, terutama televisi, yang setiap hari
membom ruang hidup kita dengan acara-acara infotainment, yang
berisi informasi segala tetek-bengek kehidupan selebritas. Kebanyakan kandungan
informasinya memang tidak ada nilainya.
Para selebritas yang jadi nara sumber pun banyak yang tidak pintar, tetapi
bukan itu pesan utama yang penting dari tayangan televisi. Televisi berbicara dalam bahasa lain.
Ruedi
Hofmann dalam bukunya Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi (1999)
menjelaskan, berbeda dengan cara berpikir linear yang merupakan kekhasan budaya
tulis, di televisi cara berpikirnya dalam bentuk spiral dengan selalu kembali
kepada hal yang sama. Atau dalam bentuk mosaik dengan menjejerkan hal-hal yang
sebetulnya tidak saling berkait, tetapi dalam kemajemukan dapat menghasilkan
suatu kesan menyeluruh.
Di televisi,
berbeda dari media cetak, kata-kata yang diucapkan bukan yang paling penting.
Sering kata-kata bahkan kurang mendapat
perhatian dan cepat dilupakan. Akan tetapi, kesan yang diperoleh berasal dari
penampilan seorang tokoh, dari latar belakang dan lingkungannya, dari nada
musik, dan sebagainya. Semua itu lebih penting dari kata-kata.
Dari kesan-kesan yang dipancarkan oleh televisi
seputar kehidupan glamor para pesohor, itulah yang membuat anak-anak muda kita terbius untuk
melambungkan impiannya, ramai-ramai ingin secara instan menjadi selebritis seperti idola mereka !
Kalangan
sosiolog berpendapat bahwa di dunia saat ini sedang bertempur antara dua
budaya. Yaitu budaya hero, pahlawan, melawan budaya pesohor, selebritas. Budaya
hero bercirikan suatu upaya pencapaian prestasi dengan bekerja keras, tekun,
sabar, berproses langkah demi langkah, alami dan memakan waktu.
Hal
universal ini, menurut Stephen R. Covey
dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989), berlaku untuk semua tahap kehidupan, pada
semua bidang perkembangan. Apakah belajar main piano,menanam benih bunga atau berkomunikasi. Juga berlaku untuk
setiap individu, dalam perkawinan, keluarga, atau pun organisasi.
Prinsip atau
fakta mengenai pentingnya proses ini kita fahami dan kita terima bila berlaku
pada bidang yang bersifat fisik. Tetapi untuk memahaminya di bidang emosional,
hubungan antar manusia dan bahkan dalam karakter pribadi, ternyata tidak mudah
dan lebih sulit. Bahkan ketika pun kita memahaminya, menerimanya dan hidup
selaras dengan prinsip tersebut, ternyata merupakan hal yang lebih sulit lagi.
Akibatnya, kita selalu mudah tergoda untuk mencari
terobosan, jalan pintas, mengharap dengan melompati beberapa langkah vital guna
menghemat waktu dan usaha, tetapi tetap mampu meraih hasil yang maksimal.
Sikap mental
getol mengambil jalan pintas,
itulah perwujudan budaya selebritis, yang cenderung ingin sukses secara instan
dengan mengingkari proses alami suatu perkembangan. Anda ingin kaya raya tanpa dibarengi kerja
keras dalam waktu lama ? Maka tak ayal, mewabahlah budaya korupsi. Ingin nampak
berpendidikan tinggi, tetapi tak mau bersusah payah berkuliah ? Budaya jual-beli
gelar akademi palsu meruyak dimana-mana. Sehingga pantaslah kalau kalangan
sosiolog menyimpulkan betapa budaya selebritis itu berimpit ketat dengan budaya
kriminalitas.
Sebagai
ilustrasi lagi, beberapa tahun lalu terpapar realitas penerimaan kita terhadap
budaya hero vs. budaya selebritis. Itu tergambar saat seorang selebritis,
penyanyi perempuan muda, terkenal, yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas
karena diduga habis mengkonsumsi narkoba.
Liputan
media begitu hebat dan ribuan pelayat berjubelan menghadiri pemakamannya.
Sementara pada saat yang hampir bersamaan, wafatnya sosok hero, pekerja keras
dan intelektual, pujangga Angkatan 30, Sutan Takdir Alisjahbana, hanya diantar
belasan orang ketika menuju peristirahatannya yang terakhir .
Gelegak
budaya selebritis itu, kini, suka atau tidak suka telah mengepung hidup
kita. Mungkin kita tidak mampu
mengingkarinya. Tetapi seperti halnya isi petuah Ronggowarsito bagi kita dalam menghadapi jaman edan, maka wanti-wantinya agar kita selalu eling
lan waspadha, tentulah kita harap masih sebagai satu pegangan hidup yang bermakna.
Begitukah ? Apa pendapat Anda ?